Perkembangan Industri BOPP di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan 5 % per tahun akan berdampak langsung terhadap peningkatan daya beli masyarakat terhadap barang-barang konsumsi yang menggunakan plastik. Selain itu penggunaan plastik sebagai bahan pengganti kaca dan logam khususnya di bidang kemasan dan komponen kendaraan bermotor serta alat-alat elektronik semakin meluas dari tahun ke tahun. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kecenderungan masyarakat untuk memperoleh sesuatu yang praktis dan ringan semakin besar.

Industri hilir plastik merupakan salah satu industri yang tetap menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1990, konsumsi plastik di Indonesia diperkirakan sekitar 2,50 kg per kapita atau kira-kira satu per enam dari Negara Malaysia. Rendahnya konsumsi plastik ini merupakan pasar yang potensial bagi pemasaran plastik. Di samping itu, iklim ekonomi dan politis Indonesia yang stabil telah banyak menarik investor asing dari Negara Jepang, Korea dan Taiwan untuk merelokasi operasi usaha mereka ke Indonesia, khususnya di bidang industri elektronik yang banyak memerlukan tenaga kerja dan komponen plastik sehingga permintaan akan plastik akan meningkat.Dari tahun ke tahun, pertumbuhan konsumsi yang tetap terjaga merupakan satu daya tarik yang cukup besar bagi investor.

Salah satu sektor industri hilir plastic yang dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami pertumbuhan yang mengesankan adalah produk-produk  plastic film atau plastik lembaran yang berproses bentangan dua arah berbasis polypropylene atau yang lebih dikenal dengan istilah biaxially oriented polypropylene (BOPP) pada tahun 1980-an. Penerapan inovasi teknologi BOPP ini memberikan jawaban atas kebutuhan kemasan yang memiliki sifat yang lebih unggul yaitu jauh lebih murah, tidak beracun, higienis, bersahabat dengan lingkungan dan berpenampilan yang tidak kalah menarik seperti cerah, mengkilat dan bening dibandingkan dengan kemasan yang berbasis plastik PVC, serat kayu (kertas dan selofin) atau logam (aluminium dan timah). Di samping itu lembaran BOPP juga memiliki daya pelindung yang handal terhadap perubahan cuaca dan suhu karena sifat kedap udara.

Lahirnya industri lembaran plastik BOPP ini telah mendorong pergeseran yang berarti dalam pengemasan beragam produk‑produk barang konsumsi seperti rokok, makanan, minuman, bumbu penyedap, farmasi, kosmetik, kaset audio/video, pita perekat dan tinta printer, karena lembaran BOPP lebih menguntungkan bagi industri hilir dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya. Indonesia bahkan memiliki keunggulan komparatif dalam industri lembaran BOPP dengan adanya dukungan kuat dari industri polypropylene dan propylene.

Industri kemasan lembaran BOPP adalah industri yang memiliki keterkaitan erat dengan industri barang‑barang konsumen sebagai industri pengguna. Sebagaimana dikenal, industri barang konsumen adalah salah satu industri yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi resesi (bust). Sebaliknya di situasi ekonomi memulih (boom), industri barang konsumen juga yang pertama mengalami pemullhan. Dengan demikian, industri lembaran BOPP diperkirakan akan mengalami pertumbuhan pesat mengikuti karakteristik perkembangan industri penggunanya.

 

Perkembangan Industri BOPP

 

 Produksi BOPP (Biaxially Oriented Polypropylene) Film misalnya, pada tahun 2006 produksi produk ini baru tercatat sebesar 149.875ton. Angka ini kemudian naik menjadi 163.727 ton pada tahun 2007. Namun, karena adanya dumping impor BOPP Film dari Thailand, telah mengakibatkan terganggunya produksi di dalam negeri.Sehingga pada tahun 2008 produksi di dalam negeri mengalami penurunan.

Tetapi setelah pemerintah menangani masalah ini dengan  mengenakan BAMDS sebesar 11%-16% terhadap produksi BOPP Film Thailand, maka produksi dalam negeri naik kembali dan mencapai 163.636  ton tahun 2009. Pada tahun 2010 naik lagi menjadi 175.908 ton. Sementara itu, produksi BOPET (Biaxially Oriented Polyethylene Terephthalate) Film pada tahun 2006 tercatat sebesar 64.670 ton. Jumlah produksi itu naik terus dan mencapai  80.490 ton pada  tahun 2009.  Kemudian naik lagi menjadi 86.526 ton tahun 2010. Demikian halnya dengan  produksi CPP (Cast Polyproylene) Film. Jumlah produksi produk ini pada tahun 2010 sudah  mencapai kurang lebih 58.750 ton. Naik dengan angka cukup besar jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meningkatnya produksi Plastik Film ini disebabkan  terus meningkatnya konsumsi di dalam negeri, terutama untuk industri kemasan flekstibel, industri,

printing,  adhesive tape (selotip), kemasan makanan, kemasan rokok, farmasi, kosmetik dan lain sebagainya.

 

 

Naik Turun Industri Bahan Baku Plastik di Indonesia

 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4% selama tahun 2012, telah mendorong peningkatan konsumsi bahan baku plastik di dalam negeri. Namun tingkat konsumsi per kapita bahan baku plastik di dalam negeri masih tergolong rendah dibanding dengan negara lainnya. Sebagai gambaran, pada tahun 2012, konsumsi per kapita bahan baku plastik polyethylene (PE) resin di Indonesia mencapai sekitar 4,6 kg per kapita atau lebih rendah dibanding tingkat konsumsi per kapita rata-rata di kawasan Asia yang mencapai 8,8 kg per kapita. Sementara tingkat konsumsi per kapita PE resin di kawasan Asean seperti Singapura mencapai sekitar 19 kg per tahun, Malaysia (36 kg per kapita), Thailand (19 kg per kapita). Sedangkan konsumsi PE resin per kapita di Korea Selatan dan Jepang masing-masing telah mencapai 43 kg per kapita dan 34 kg per kapita pada tahun 2012.

Dengan kondisi ini, maka potensi pertumbuhan konsumsi bahan baku plastik di pasar dalam negeri masih cukup besar, karena Indonesia merupakan pasar potensial bahan baku plastik dengan populasi penduduk 245 juta jiwa atau ke empat terbesar setelah China, India dan Amerika Serikat.

Meski konsumsi bahan baku plastik cenderung meningkat, namun hingga kini, untuk memenuhi konsumsi bahan baku plastik di dalam negeri, sebagian masih tergatung impor. Berdasarkan catatan BPS, pada tahun 2012, total nilai impor produk olefin dua produk polyolefin untuk bahan baku plastik yaitu polypropylene (PP) resin dan PE resin mencapai US$ 3,65 miliar. Sementara nilai impor bahan baku plastik lainnya seperti PVC resin, PS resin dan ABS resin dalam satu tahun terakhir juga mengalami peningkatan, masing-masing senilai US$95,4 juta, US$147,8 juta dan US$258,6 juta. Kecenderungan meningkatnya volume impor bahan baku plastik ini sejalan dengan naiknya permintaan yang melebihi tingkat produksi dari produsen bahan baku plastik di dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, maka peluang di bisnis bahan baku plastik ini masih akan tetap besar baik untuk pemasok maupun produsen.

Terkait hal itu, untuk menekan impor bahan baku plastik yang cenderung meningkat, hingga kini, terdapat beberapa investor yang berminat untuk membangun plant olefin (ethylene & propylene) dan polyolefin di Indonesia, diantaranya Honam Petrochemical Corporation dengan investasi US$ 5 miliar dan Pertamina yang bermitra dengan PTT Global Chemical, Thailand membangun naphtha cracker senilai US$ 5 miliar. Sedangkan Chandra Asri Petrochemical (CAP) tengah melakukan diversifikasi produk dengan membangun plant butadiene (100.000 ton per tahun) dengan investasi senilai US$ 150 juta yang dijadwalkan mulai beroperasi komersial pada tahun 2013 ini. Selain diversifikasi produk, CAP juga telah merampungkan beberapa proyek ekspansi dan merencanakan proyek-proyek ekspansi lainnya termasuk peningkatan kapasitas naphtha cracker dari 600.000 ton per tahun menjadi 1 juta ton per tahun dengan investasi senilai US$320 juta. Proyek ekspansi naphtha cracker ini untuk menghadapi kondisi industri yang diperkirakan terjadi pada tahun 2015 dan 2016.   

Di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini, iklim bisnis di sektor industri bahan baku plastik dan industri plastik menghadapi tantangan yang cukup serius. Industri bahan baku plastik juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah dunia. Akibatnya, harga naptha sebagai bahan baku industri olefin (ethylene dan propylene) tidak stabil. Benang merah lain adalah ketidakseimbangan antara supply dan demand, sehingga mendorong naiknya harga bahanbaku plastik, seperti PE resin dan PP resin. Ketika harga minyak mentah dunia melonjak hingga US$141 per barel pada pertengahan2008, harga kedua komoditas ini melonjak hingga US$2.000 per ton. September 2008, harga minyak mentah dunia turun ke level US$109,73 per barel, harga bahan baku plastik PE dan PP merosot menjadi US$1600-US$1.650 per ton. Januari 2009, harga minyak mentah dunia anjlok ketingkat terendah sekitar US$41,96 per barel, harga PE dan PP di pasar dunia masih tetap di kisaranantara US$790-US$850 per ton. Akibat pergerakan harga bahan baku plastik semakin anomaly (situasi menyimpang dari keadaan normal), industri petrokimia hulu di dalam negeri menjadil esu. Sejumlah produsen kesulitan meningkatkan produksi. PT Polytama propindo misalnya,belum berani untuk menambah produksi, karena masih menunggu perbaikan harga.

Empat produsen petrokimia intermediated di dalam negeri, mengalami penumpukan stok produksi PE dan PP hingga 90.000 ton. Ke-4 produsen tersebut antara lain PT Chandra Asri, PTTitan Petrochemical, PT Tri Polyta, dan PT Polytama. Penumpukan stok terbanyak dialami PTChandra Asri sekitar 35.000 ton berupa PE dan PP.Namun, permintaan produk plastik meliputi  plastic film, plastic woven bag, plastic pipe, plastic sheet, plastic housewares, plastic electronic consumer & household appliances, motorcycle &automotive plastic parts dan plastic bottle/container dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Kondisi ini mendorong meningkatnya permintaan bahan baku plastik. Tercatat, konsumsi enam jenis bahan baku plastik di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2003-2007) meningkat, dari 1,7 juta ton naik menjadi sekitar 2,1 juta ton. Pada 2007, konsumsibahan baku plastik terbesar adalah PP resin yang mencapai 817,0 ribu ton. Tingginya konsumsi PP resin, didorong oleh pesatnya pertumbuhan industri pemakainya seperti industri komponen otomotif yang banyak menggunakan PP resin, copolymer , diikuti oleh konsumsi PE resin sebesar 697,6 ribu ton.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta