Tanah, Investasi Terbaik di Dunia
Sebenarnya ini merupakan ilmunya orang lama, yang gemar berinvestasi melalui tanah. Orang baru, atau para millenial, mungkin akan jauh berbeda dalam berpendapat, bagi mereka, mungkin bukan tanahlah investasi yang terbaik, melainkan emas, atau bahkan saham! Sebagai anak dari orang tua kampung model lama, maka saya pribadi lebih tertarik kepada pendapat yang mengatakan bahwa tanahlah investasi terbaik itu! Betapa tidak. Berkaca dari pengalaman pribadi orang tua saya. Saya ingat sekali, kala itu, bapak baru saja membeli sepeda motor Astrea Prima bekas, yang baru saja dibelinya dari orang lain dengan harga kurang lebih 3 juta. Hanya beberapa bulan berselang, bapak mendapat tawaran sebidang tanah dengan lokasi cukup strategis di ibukota kecamatan, hanya 3 juta lebih sedikit. Tanpa pikir panjang, bapak menjual Astrea Prima itu, dan digunakannya untuk membayar sebidang tanah tersebut. 3 tahun berselang, bapak dan ibu berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji, yang seingat saya di tahun 2002 biaya per orangnya sekitar 27 juta rupiah, sementara bapak tak punya cukup uang untuk membayarnya, sehingga pilihan yang harus diambil adalah menjual kembali sebidang tanah yang dibelinya 3 tahun lalu itu. Anda tahu, laku berapa tanah itu? Hampir 30 juta!
Pengalaman tersebut cukup membekas bagi saya, dalam waktu 3 tahun harga sebidang tanah naik hampir 10 kali lipat, sementara apa yang terjadi jika motor Astrea Prima tersebut tidak dijual? Apakah dalam waktu 3 tahun harga si motor naik 10 kali lipat? Tentu tidak. Yang terjadi adalah, harganya pasti akan turun lagi, lebih murah dari 3 juta. Dan ada banyak lagi pengalaman lain yang cukup berkesan bagi saya, yang membuat saya pun menjadi penganut paham yang sama, yang menganggap bahwa tanah adalah investasi terbaik.
Cerita pengalaman tersebut kemudian membawa kita untuk melihat realita yang terjadi saat ini, dimana banyak orang yang lebih mementingkan gaya hidup, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dsb. Gaya hidup seperti apa yang penulis maksud? Yaitu kaum millenial yang lebih mementingkan membeli mobil baru dibanding sebuah rumah atau sebidang tanah, sementara mereka masih hidup mengontrak di rumah sewa milik orang lain. Tentu, penulis tidak sedang menyalahkan cara hidup mereka, hanya bagi penulis, cara hidup seperti kaum millenial itu memang agak aneh. Hehe… Bagaimana tidak? Terkesan orang berada, kemana-mana pakai mobil baru, namun ternyata belum punya rumah. Masih ingat kan, teori semasa SD hingga SMA mengenai hirarki kebutuhan? Ada kebutuhan primer, sekunder, tersier. Sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan primer. Maksud dari kebutuhan primer itu bagaimana? Ya kebutuhan yang harus wajib dipenuhi dulu untuk bertahan hidup, sebelum kebutuhan level lainnya dibeli. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan primer, seperti hiburan. Sementara kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang terakhir dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder, seperti perhiasan, mobil, dsb. Aneh bukan, orang belum pake baju tapi sudah memakai perhiasan? Sama anehnya dengan orang-orang yang rela tidak makan karena tak punya uang, namun malah merokok! Clear kan?
Ketika kita sudah memiliki mobil, maka biasanya gaya hidup pun akan meningkat, pengeluaran pun pasti akan bertambah. Isi bensin lah, jalan-jalan bareng keluarga atau teman kantor lah, pergi ke bengkel lah, bayar cicilan dan asuransi lah, dsb. belum lagi, ada satu hal yang jarang sekali dihitung oleh si pemilik mobil. Apa itu? Penurunan harga mobil itu sendiri! Sebuah mobil baru, hampir pasti mengalami penurunan harga 20 hingga 30 juta setiap tahunnya, tergantung jenis mbil yang dibelinya. Secara hitung-hitungan di atas kertas, peluang untuk menyimpan uang lebihan setiap bulannya semakin kecil. Belum lagi jika masih hidup di rumah kontrakan, tentu tiap bulannya ada cost yang dibayarkan ke pemilik rumah. Nah, lalu apa yang terjadi? Sisa gaji atau pendapatan kita semakin berkurang, maka akibat selanjutnya adalah, peluang kita untuk memiliki sebuah rumah idaman semakin menjauh. Betul bukan?
Penulis pernah mendengar cerita dari seorang rekan yang baru saja menikah lagi untuk kedua kalinya, karena sang istri pertama meninggal dunia. Nah, istri kedua ini memiliki beberapa orang anak, yang salah satunya menarik untuk penulis ceritakan disini. Menurut rekan tersebut, si anak itu bergaya hidup mewah, tinggal mengontrak di sebuah rumah mewah di Jakarta, lalu mobilnya baru pun termasuk mobil mewah, jauh di atas mobil rata-rata, namun juga cicilan. Ketika sang istri melahirkan anak kedua, rekan saya tersebut diminta untuk membayar biaya rumah sakit mewah tempat si menantu tersebut bersalin. Usut punya usut, ternyata rekan tersebut diminta membayar karena si anak tidak memiliki uang lagi untuk membayarnya! Coba anda renungkan. Bergaya hidup mewah, hidup mengontrak di rumah mewah, mobil mewah, bersalin di tempat mewah, namun tidak memiliki uang untuk biaya bersalin sang istri!
Oleh karena itu, penulis secara pribadi mengajak para pembaca, untuk lebih berhati-hati dalam bergaya hidup. Alangkah baiknya terlihat sebagai pribadi yang sederhana saja, namun sebenarnya mampu secara finansial, ketimbang terlihat glamour, kaya, namun sebenarnya hidupnya tidak sesuai penampakannya. Wassalam.
Daftar Pustaka
Keputusan Presiden No. 99 Tahun 2001 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2002.
https://haji.kemenag.go.id/v4/node/960149. Diakses pada 16 Februari 2020.
https://www.liputan6.com/news/read/38773/ongkos-haji-2003-tidak-naik. Diakses pada 16 Februari 2020.
Label
Fasilitas komentar tidak disertakan.