Setelah Menikah, Utamakan Punya Rumah

Setelah Menikah, Utamakan Punya Rumah

Satu ketika semasa masih hidup membujang, seorang sahabat yang baru saja melepas masa lajangnya menasehati saya, “Nanti kalo sudah menikah, maka yang pertama harus kamu miliki itu adalah rumah, lainnya diabaikan dulu. Kalo rumah sudah ada, maka yang lain-lainnya akan gampang menyusul.” Saya cermati baik-baik pesan yang dia sampaikan tersebut. Seratus persen, saya setuju dengan pendapat teman tersebut, dan kemudian berniat untuk membuktikan kebenarannya.

Begitu kemudian menikah, saya yang masih belum memiliki apa-apa - jangankan membeli sebuah rumah sederhana, menyewa rumah kontrakan murah saja belum mampu – kemudian hidup di sebuah kamar kos, yup… sebuah kamar kos sederhana ukuran 2,5x2,5 meter persegi, ditempati berdua bersama istri!! Baru kemudian setelah lebih “mampu”, kami hidup di sebuah rumah sewa murah di pinggiran kota. Masa itu, kami tidak membeli barang-barang yang tidak terlalu penting, motor pun kami bertahan dengan satu motor butut pemberian orangtua semasa kuliah tingkat akhir. Kami ingin benar-benar “mempraktekkan” pesan dari sahabat tersebut, ya, tujuan utama kami adalah memiliki rumah, meskipun hanya sebuah rumah sederhana!

Kenapa “harus” memiliki sebuah rumah? Hitung-hitungannya sederhana saja, ketika kita menyewa rumah, setiap tahun kita harus mengeluarkan sejumlah uang. Sebagai gambaran, saat ini, di tahun 2020 ini, sebuah rumah sederhana di kawasan Janti, Yogyakarta, dipasang tarif sewa sekitar 20 juta per tahun. Dan jika kita pernah merasakan menyewa rumah kontrakan, waktu satu tahun itu akan terasa sangat cepat berjalan. Tak terasa, tibalah saat dimana kita harus memperpanjang sewa lagi. 20 juta keluar lagi, demikian seterusnya berulang setiap tahun. Belum lagi jika si pemilik menginginkan dibayar dimuka untuk beberapa tahun sekaligus, maka akan terasa lebih berat lagi.

5 tahun mengontrak rumah, setidaknya uang 100 juta keluar bukan? Belum lagi jika ada kenaikan harga sewa di setiap tahunnya. Dan setelah sekian tahun mengontrak, apakah rumah itu menjadi milik kita? Tentu tidak bukan? Lalu bagaimana caranya supaya dengan pengeluaran yang hampir sama, namun kita memiliki sebuah rumah? Hitung-hitungannya sebenarnya sederhana saja. Membayar sewa rumah 20 juta per tahun, sama artinya kita keluar uang hampir 2 juta setiap bulan. Bayangkan jika kita terus mengontrak rumah hingga puluhan tahun, atau misal 10 tahun saja, kita setidaknya telah “membuang” uang sebanyak 200 juta, sementara rumah itu tetaplah hak milik orang lain.

Namun ceritanya akan berbeda 180 derajat, ketika kita mencoba mencari sebuah rumah sederhana, lalu membelinya. Lah, uangnya darimana Pak? Lho, kan ada banyak bank syariah untuk kita mintai pertolongan bukan? Uang 20 juta daripada kita gunakan untuk membayar sewa rumah hanya satu tahun, bukankah lebih baik kita gunakan untuk uang muka pembelian rumah sederhana? Lalu setiap bulannya, kita sisihkan uang 3-4 juta untuk membayar cicilan ke bank syariah tersebut. Jika kita bandingkan dengan pengeluaran menyewa rumah yang sekitar 2 juta per bulan, hanya beda sedikit bukan? Hidup prihatin dulu, ngga beli ini ngga beli itu, nunggu kondisi keuangan membaik, baru kita bisa beli ini beli itu. Namun yang pasti, kepuasan kita akan berbeda, antara menempati rumah orang, sebagus apapun rumah tersebut, dengan menempati rumah sendiri, sesederhana apapun rumah tersebut. Dan yang pasti, jika menyewa, setelah kehilangan 200 juta selama 10 tahun, rumah tetap menjadi hak milik orang lain, namun jika kita mencicil, maka di akhir tahun ke 10, rumah telah resmi menjadi milik kita, ditambah lagi sejak bulan pertama membayar cicilan, kita sudah merasa menempati rumah sendiri, bukan menempati rumah orang lain. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis kita dan keluarga. Terkadang ada saja rekan, teman atau tetangga yang entah iseng entah tega, bertanya, “ini rumah sendiri apa ngontrak?”. Jika kita mengontrak, biasanya kita menjawabnya setengah minder bukan? Namun jika itu rumah sendiri meskipun masih baru membayar cicilan pertama, maka hampir pasti kita menjawabnya dengan penuh percaya diri, “Alhamdulillah, rumah sendiri Mbakyu…”. Enak kan jawabnya? Alhamdulillah. Yuk, berpikir cerdas demi masa depan.

 

Daftar Pustaka

https://www.rumah.com/panduan-properti/beli-rumah-pilih-bayar-cash-atau-kredit-8391. Diakses pada 17 Januari 2020.

Label

Ekonomi

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta