Mengenal Waste Yang Pertama, Over Production

Dalam seri tulisan ”The Seven Waste” yang kedua ini, kita akan berfokus untuk membahas waste yang pertama, yaitu produksi berlebih (over production). Waste jenis ini biasanya disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk membuat produk yang tidak diinginkan oleh customer atau memproduksi sesuatu sebelum diminta oleh pelanggan, hingga bisa menyebabkan membengkaknya jumlah persediaan.

Over production yaitu memproduksi produk jauh lebih besar dari permintaan konsumen. Produksi berlebih dapat berakibat pada berbagai pemborosan diantaranya; terciptanya persediaan yang tak perlu, tambahan usaha/pekerjaan untuk menangani bahan, tempat tambahan untuk menyimpan persediaan serta bunga bank yang harus dibayar karena peningkatan modal kerja.

Dalam Lean Manufacturing, produksi harus didasarkan pada sistem tarik (pull system),yaitu membuat produk sesuai dengan keinginan atau permintaan konsumen. Dalam Lean Manufacturing, semua produk yang diproduksi di luar hal tersebut (Work In Progress, buffer, safety stock) merupakan pemborosan karena hal tersebut membuat organisasi menjadi tidak dapat melakukan hal lain yang dapat memenuhi keinginan konsumen.

Biasanya, hal yang kerap terjadi adalah ketika hasil produksi tidak sempurna/cacat menumpuk, maka kita dapat dengan mudah mengenalinya sebagai bentuk dari pemborosan sehingga menambah tingkat kerugian yang diderita perusahaan. Namun, ketika hasil produksi yang bagus dan sempurna menumpuk, kita sering menyebutnya sebagai inventaris serta memandangnya sebagai rutinitas, bukan sesuatu hal yang aneh dan berdampak negatif. Ironisnya, justru masalah inventaris inilah yang menjadi sumber utama pemborosan dalam sebuah perusahaan, dan bahkan sangat mungkin pemborosannya akan lebih besar dari pemborosan yang ditimbulkan oleh penumpukan barang cacat. Ketika melihat sebuah tumpukan barang yang kita sebut sebagai inventaris, kita harus segera mengenalinya sebagai aset lancar atau bukan. Jika inventaris tersebut dapat segera dijual atau digunakan secara cepat, maka pemborosan tidak akan terjadi berlarut-larut yang dapat memakan biaya penyimpanan (gudang), biaya depresiasi, kerusakan serta inefisiensi ruang gerak yang dapat memperlambat waktu pengerjaan sesuatu produk. Jangan sampai pihak perusahaan tertipu oleh barang-barang yang tertata rapi di gudang, karena sangat mungkin barang-barang tersebut merupakan pemborosan yang telah tersembunyi bertahun-tahun dan tidak disadaritelah banyak mengurangi keuntungan perusahaan.

Sebagai contoh, kondisi yang dijumpai pada IKM-IKM Logam di sentra IKM Logam Nitikan Yogyakarta, sebagian besar perusahaan beroperasi dengan Make to Stock, mereka membuat barang tidak berdasarkan order/pesanan konsumen. Hal ini menimbulkan masalah karena kapasitas gudang yang terus menyempit karena terlalu banyaknya jumlah barang yang diproduksi, sementara pesanan tak kunjung datang serta cara pemasaran yang dilakukan juga masih sangat tradisional.Selainitu, modal perusahaan yang tersimpan dalam bentuk barang di gudang tersebut juga bernilai ratusan juta. Belum lagi cara penyimpanan yang salah, dengan menumpuk produk jadi tanpa alas yang baik, sehingga menyebabkan produk di bagian paling bawah mengalami kerusakan. Secara umum, IKM tidak menggunakan perencanaan permintaan dalam memproduksi barang. Mereka umumnya memproduksi secara banyak, tanpa memperhatikan apakah produk yang mereka buat itu diperlukan oleh pasar atau tidak, dan juga tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin terjadi dan mempengaruhi pemasaran produk, misal adanya perubahan minat/selera dari para pelanggan, perubahan tingkat pendapatan pelanggan baik naik atau turun, perubahan akses dari dan menuju tempat pelanggan, dsb.

Dari hal yang nampaknya sepele dan lumrah jika dilihat dari kacamata para pengusaha IKM tersebut, sebenarnya muncul potensi kerugian yang sangat besar, mulai dari bunga bank yang harus dibayarkan karena untuk memproduksi barang yang disimpan di gudang tersebut memerlukan pinjaman dari bank, space ruang kerja yang berkurang karena digunakan untuk “menimbun” produk jadi, hingga kemungkinan besar terjadi cacat produk jadi yang disebabkan karena proses penyimpanan yang terlalu lama.

Sebagai gambaran, dapat kita bayangkan banyaknya penumpukan produk (over production) yang terjadi akibat sistem produksi yang tidak menggunakan perencanaan permintaan dengan baik.  Perusahaan hanya memproduksi dan terus memproduksi tanpa mempunyai data rata-rata permintaan per minggu atau per bulannya. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada waste jenis lain diantaranya adalah excess inventory.

 

DAFTAR REFERENSI

 

Abdullah, Fawaz, Lean Manufacturing Tools and Techniques In The Process Industry With the Focus on Steel, Dissertation, University of Pittsburgh, 2003.

 

Akinlawon, Akin, Thingking Of Lean Manufacturing System.

 

Becker, Ronald, Lean Manufacturing And The Toyota Production System.

 

Fanani, Zaenal,dkk., Implementasi lean manufacturing untuk peningkatan produktivitas (studi kasus pada pt. ekamas fortuna malang), Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII, Program Studi MMT-ITS, Surabaya, 5 pebruari 2011.

 

Fitriyah, Ni’matul., Peningkatan mutu produk kain grei pada departemen weaving iii PT. Dan liris Sukoharjo dengan menggunakan pendekatanLean six sigma, Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012.

 

Jahja, Kristianto, 5R, Productivity & Quality Management Consultants, Jakarta Pusat, 1995.

 

Jeffrey K. Liker, The Toyota Way: 14 Management Principles from theWorld's Greatest Manufacturer, McGraw-Hill © 2004.

 

Monden, Yasuhiro, Sistem Produksi Toyota, Seri Manajemen Operasi No.8, Edisi Indonesia , Cetakan pertama, PPM, Jakarta, 1995.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta