Apakah Korupsi Merupakan Budaya Bangsa Indonesia?

Korupsi adalah budaya bangsa?

Korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Ungkapan tersebut sering kita dengar, dan bahkan secara tidak sadar, kita sering membenarkan ungkapan tersebut. Ungkapn tersebut tentu lahir bukan tanpa sebab. Menjamurnya korupsi di setiap lapisan masyarakat, membuat banyak orang yang secara tidak sadar menganggap bahwa korupsi memang telah menjadi budaya di negeri ini. Bagaimana tidak, tak perlulah rasanya melihat berbagai kasus korupsi atau OTT KPK yang diberitakan di media massa atau televisi nasional kita, itu terlalu mainstream, sudah bukan barang aneh lagi di negeri ini. Dan juga, “terlalu sedikit” untuk menggambarkan bahwa korupsi memang mewabah di negeri ini. Kenapa saya katakan terlalu sedikit? Karena kenyataan yang terjadi di lapangan membuka mata kita bahwa korupsi memang telah terjadi merata di seluruh lapisan masyarakat kita, bukan hanya di level politisi, bukan hanya di level kepala daerah, tidak juga hanya di level para pejabat pemerintahan, atau hanya terjadi di lingkungan pemerintahan serta dilakukan oleh para PNS/ASN. Tidak. Tidak hanya itu! Korupsi memang seakan-akan telah menjadi budaya bangsa ini. Namun, saya pribadi tidak sependapat dengan pernyataan bahwa korupsi merupakan budaya kita. Kenapa? Karena budaya merupakan sesuatu yang baik dan perlu dilestarikan, sementara korupsi, nyolong, merupakan sesuatu pekerjaan yang tidak baik dan perlu dibumihanguskan dari negeri ini. Setuju? Harus. Jika dikatakan bahwa korupsi telah membudaya, saya lebih setuju, namun korupsi bukan budaya kita. Memalukan!

Kenapa di atas saya katakan bahwa korupsi tidak sesempit yang diberitakan di televisi/koran-koran saja? Korupsi juga tidak sebatas yang dilakukan oleh para pejabat, kepala daerah, atau para ASN, namun korupsi telah dilakukan merata di seluruh lapisan masyarakat. Coba kita lihat, banyak pedagang yang mengurangi timbangan barang dagangannya, banyak penjual BBM yang mengurangi jumlah literannya, sopir-sopir truk yang minta jatah ketika mengirim barang kepada pelanggannya, tukang parkir yang tidak memberikan uang kembalian kepada para pemarkir sepeda motor, dan sebagainya. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adalah, banyak anak-anak sekolah yang mulai belajar menipu orangtua mereka, lewat uang SPP lah, uang buku yang di-mark up lah, dan sebagainya. Dan itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Miris bukan? Artinya, proses belajar menjadi “maling” ini sudah dimulai semenjak bangsa ini masih berada di usia sekolah. Artinya lagi, korupsi memang tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan, namun hampir di semua lini kehidupan kita. Ya tentu tidak semuanya ya, dan saya pribadi sangat berharap bahwa hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, para oknum.

 

Makna budaya

Di atas, saya mengatakan bahwa budaya merupakan sesuatu hal yang baik dan layak untuk dipertahankan, sehingga korupsi memang bukanlah budaya. Dari sudut pandang bahasa, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Buddhaya, yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan budaya sebagai pikiran, akal budi atau adat istiadat. Sehingga dari pengertian tersebut, sangat jelas bahwa dalam pengertian budaya terdapat sebuah perilaku yang didasarkan pada unsur kebaikan, yakni berstandar pada akal budi.

Sedangkan korupsi jelas secara nyata merupakan perbuatan busuk dan tidak bersandar pada budi maupun akal yang baik. Oleh karena itu korupsi bukanlah merupakan budaya. Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan orang lain dan bahkan merugikan bangsa dan negara, korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Prof. Mahfud MD, salah satu ahli hukum di negeri ini, korupsi bukan merupakan budaya bangsa Indonesia dengan menyebutkan tiga alasan. Pertama, yang namanya budaya pasti selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang tentu melahirkan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apalagi kita sudah mengklaim sendiri sebagai bangsa yang mempunyai budaya adiluhung (unggul), dan ini diamini pula oleh bangsa lain. Bahkan dalam tiga azimat revolusi yang dikemukakan oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Apa iya, Bung Karno akan menyuruh Bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tentu saja tidak bukan?

Yang kedua, apabila kita beranggapan dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya, maka kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Berarti sama saja kita menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan amat sulit diberantas, sebab yang namanya budaya itu sudah dihayati sebagai kebiasaan hidup yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad sehingga sulit dihentikan juga sampai berabad-abad ke depannya. Dengan sikap “lemah” seperti itu bagaimana mungkin kita akan memerangi korupsi?

Yang ketiga, perjalanan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan kenyataan menunjukkan korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui konfigurasi dan kebijakan-kebijakan politik. Pada awal kemerdekaan sampai menjelang tahun 1950-an, negara kita relatif bisa memerangi korupsi. Pada era itu, korupsi besar bisa dihitung dengan jari dan tetap mudah diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada menteri-menteri diajukan ke pengadilan dan dihukum karena tindak pidana korupsi (seperti Menteri Agama dan Menteri Kehakiman).

 

Kesimpulan dan bagaimana selanjutnya

Korupsi tidak hanya terjadi di lapisan “atas” negeri ini, tidak hanya para pejabat, tidak hanya para ASN, pun tidak sesempit yang telah muncul diberitakan di media-media. Korupsi jauh lebih luas dari itu semua, dan telah mewabah di seluruh lapisan masyarakat kita. Korupsi bukanlah budaya bangsa kita. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa korupsi merupakan wabah penyakit yang menjangkiti seluruh lapisan bangsa ini. Oleh karena wabah penyakit, maka korupsi harus segera ditemukan obat penawarnya, sehingga bangsa ini perlahan dapat menjadi bangsa yang anti korupsi. Korupsi harus dijadikan momok, harus dijadikan sebagai musuh bersama bangsa ini, sehingga setiap orang di negeri ini akan merasa “jijik” dengan semua hal yang berbau korupsi. Setiap orang harus merasa jijik terharap koruptor, setiap orang harus merasa jijik dengan para pengemplang pajak, setiap orang harus merasa jijik dengan para pedagang yang suka mengurangi timbangan, setiap orang harus merasa jijik dengan orang-orang yang meminta sesuatu yang diluar haknya, bahkan setiap orang harus merasa jijik dengan dirinya sendiri jika melakukan kegiatan mencuri/korupsi. Dengan menanamkan rasa jijik itu, maka semua aktivitas terkait korupsi, akan menjadi “kotoran” yang menjijikkan seluruh lapisan bangsa ini, dan harus dijauhi bersama.

 

 

Daftar Pustaka

Hastuti, Sri. Benarkah korupsi merupakan budaya? 19 Desember 2013. https://news.okezone.com/read/2013/12/19/95/914439/benarkah-korupsi-merupakan-budaya. Diakses pada 17 Desember 2019.

 

Khuzaini, Arief. Korupsi bukan budaya bangsa.  https://radarjember.jawapos.com/opini/09/12/2019/korupsi-bukan-budaya-bangsa/, 9 Desember 2019. Diakses pada 17 Desember 2019.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta