Menyegarkan Kembali Spirit Kebhinekaan

Indonesia merupakan salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan berbagai macam suku bangsa dengan adat istiadat, bahasa dan agama yang berbeda-beda. Beberapa penelitian mengatakan bahwa jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 350-an. Suku bangsa tersebut telah mendiami wilayah Nusantara yang kini kita sebut dengan Indonesia dalam jangka waktu yang sangat lama. Berbagai proses kehidupan serta perkembangan kebudayaan telah terjadi selama berabad-abad lamanya. Proses berpikir setiap suku bangsa di Indonesia menjadi berbeda-beda, hal ini terlihat pada produk kebudayaan yang dihasilkannya yang juga berbeda-beda.

Kenyataan sejarah menunjukkan bangsa Indonesia terbentuk tidak lain karena adanya kesadaran untuk membentuk suatu ikatan atas cita-cita bersama. Para founding fathers menyadari bahwa diperlukan dengan cepat sebuah upaya pengintegrasian Indonesia yang keadaannya sangat beragam. Dengan dasar inilah, negara Indonesia yang baru merdeka kemudian mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan bangsa dan kewarganegaraan. Itulah sebabnya Bhinneka Tunggal Ika diciptakan menjadi simbol pemersatu Indonesia.

Sementara itu, Benedict Anderson melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan.

Diketahui pula bahwa secara umum nasionalisme berarti suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Nasionalisme pula yang tetap menjaga perasaan sebagai sebuah bangsa.

Akan tetapi perasaan sebagai sebuah bangsa merupakan suatu persoalan. Perasaan itu bisa menjadi tidak penting di suatu saat, namun bisa secara tiba-tiba dirasa penting pada saat yang lain. Rasa berbangsa itu juga bersifat abstrak. Hal ini disebabkan karena tidak adanya saling mengenal antara satu orang atau etnis dengan orang lain atau etnis lain. Persatuan orang-orang yang berbeda ini hanya sebatas gagasan, mimpi dan cita-cita yang sama dan dengan itu mereka menghidupkan bayangan tentang kebersamaan dalam benak mereka masing-masing. Abstraknya rasa kebangsaan itu yang kemudian menjadikan rasa berbangsa ini bukanlah sesuatu yang telah selesai, akan tetapi akan terus menerus hidup dan berproses dalam pergulatan kehidupan manusia Indonesia.

Dalam perkembangannya, rasa keindonesiaan mulai mengalami degradasi akibat semakin kompleksnya permasalahan bangsa. Romantisme lama akan kejayaan Majapahit atau Sriwajaya dan pahit getirnya perjuangan melawan penjajah menjadi agak tidak relevan lagi untuk mencegah disintegrasi bangsa. Isu-isu keadilan, pemerataan kesejahteraan, keadilan dalam narasi sejarah, dan lain sebagainya, menjadi pemicu hadirnya gerakan-gerakan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Oleh sebab itu, menyegarkan kembali pemahaman tentang Bhinneka Tunggal Ika akan terus relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya diciptakan untuk menjadi simbol pemersatu Indonesia, namun harus dipahami sebagai perwujudan nasionalisme Indonesia itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, barangkali pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah sebagai berikut: bagaimanakah nasib semboyan Bhinneka Tunggal Ika di zaman yang makin majemuk ini, di mana negara kita bukan lagi didiami oleh satu atau dua agama, kelompok, ras, etnik atau pun suku saja? Namun yang patut digarisbawahi, sebagus apapun jawaban, tidak lebih berarti dari mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari tanpa memberlakukan syarat dan ketentuan.

 

Konteks Asli Bhinneka Tunggal Ika

“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa.” Demikian bunyi penggalan Kakawin Sutasoma Karangan Mpu Tantular. Dari penggalan inilah, kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada pita Lambang Negara Burung Garuda berasal. Terjemahan dari penggalan kakawin tersebut adalah sebagai berikut: "Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita bisa mengenalinya? Hakikat Jina (Buddha) dan hakikat Siwa ialah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga. Tidak ada kebenaran yang mendua."

Berdasarkan bunyi kakawin di atas, para ahli menyimpulkan bahwa fenomena Siwa-Buddha zaman Majapahit bukan "sinkretisme", tetapi "teologi kerukunan". Kemajemukan agama-agama dipandang sebagai manifestasi-manifestasi dari kebenaran tunggal (Tan Hana Dharma Mangrwa) dari Sang Prinsip Tertinggi: "Nataning anata, patining jagadpati, hyang ning hyang inisti" Artinya: "Sang Pelindung Mutlak, Raja Penguasa alam semesta, Tuhan yang mengatasi konsep-konsep ketuhanan yang berbeda-beda". Sebanding dengan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang tidak identik dengan agama tertentu, tetapi menaungi semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Kenyataan sejarah yang menjadi latar tercetusnya frasa Bhinneka Tunggal Ika telah membuktikan bahwa kemajemukan atau pluralitas di Indonesia sudah lahir sejak jaman kerajaan Hindu-Buddha. Meskipun hanya ada dua agama besar pada zaman kerajaan tersebut, setidaknya kerajaan Majapahit berhasil mempersatukan Wilayah Indonesia yang pada waktu itu bernama “Nusantara”. Bahkan, Majapahit mempersatukan Nusantara hingga ke wilayah yang sekarang bukan lagi wilayah Indonesia secara hukum hanya dengan bermodalkan sebuah semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam catatan sejarah, ini merupakan goresan tinta emas tata kehidupan Indonesia di masa lampau. Tingkat toleransi yang sangat tinggi antara Hindu dan Buddha untuk hidup saling berdampingan, menjadi salah satu kunci sukses Kerajaan Majapahit dalam mencapai kehidupan yang tenteram dan makmur.

 

Aktualisasi Bhinneka Tunggal Ika

Keanekaragaman atau kemajemukan ini memiliki dua sisi yang tak dapat dipisahkan yakni anugerah sekaligus kutukan. Anugerah itu dapat berupa kekayaan budaya dan adat istiadat yang kita miliki memberikan segudang ilmu pengetahuan dan pengakuan bahwa betapa besarnya bangsa ini. Disatu sisi, kutukan mengancam dengan menjelma menjadi konflik berdarah antaretnis, agama maupun ras yang tak sedikit menelan korban jiwa. Hal inilah yang kemudian membuktikan bahwa bangsa ini memiliki proses perkembangan yang begitu kompleks permasalahannya. Menganggap hal tersebut hanya sebagai sebuah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk tentu kurang arif. Sebaliknya demi menghadapi tantangan zaman yang semakin berat dan berpotensi merongrong perasaan berbangsa, maka Bhinneka Tunggal Ika harus ditampilkan sebagai formula kekinian. Setidaknya, kita dapat melakukan implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika tanpa mengabaikan aspek-aspek luhur kekunoan.

Ditambah lagi, kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat pada lambang Negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila dan Pancasila yang dituangkan dalam sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia” yang merupakan landasan hukum dalam hal integrasi bangsa dan negara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika dapat dikatakan sebagai “mantra sakti” dan spirit survivalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi penerus bangsa melalui pendidikan adalah salah satu langkah preventif yang paling efektif. Pendidikan merupakan sektor yang paling krusial dalam usaha konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang sangat fenomenal. Sebab, dengan adanya implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi muda melalui pendidikan, kita telah mempersiapkan generasi penerus bangsa yang jauh lebih berkompeten untuk terjun dalam kehidupan bernegara yang plural. Mereka pun diharapkan memiliki imunitas yang lebih tinggi dalam mengimplementasikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak mudah goyah dengan adanya provokasi dari oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa.

Selain itu, implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika melalui pendidikan juga dapat membuka mata generasi penerus bangsa akan betapa pentingya arti nasionalisme dibanding egoisme kelompok yang selama ini dibungkus dalam kata “solidaritas”. Kata “solidaritas” selama ini telah membius sebagian masyarakat Indonesia untuk berbuat lebih ketika sebuah gesekan akibat perbedaan terjadi yang akhirnya berujung pada konflik yang bertajuk ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Beberapa dari kita, selama ini tidak sadar bahwa kita telah diadu domba oleh egoisme kita sendiri. Kita lebih gemar mengibarkan bendera lambang kelompok kita masing-masing dibanding bendera negara kita tercinta, yakni merahputih. Inilah yang selama ini menjadi penyakit endemik dari kondisi psikis masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi dan cenderung “ikut-ikutan”. Oleh karena itu, kita butuh banyak tenaga segar dari generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan rasa cinta terhadap tanah air alias nasionalisme.

Fakta yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk telah terbukti kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh keberadaan berbagai suku, ras, agama dan adat istiadat, yang berkembang di Indonesia. Berkenaan dengan kemajemukan kehidupan sosial dan budaya inilah yang terkadang menimbulkan konflik antar golongan masyarakat. Solusi yang dianggap oleh banyak kalangan yang dapat mencegah terjadinya konflik tersebut adalah dengan menanamkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat. Dalam konteks membangun masa depan Indonesia, implementasi kebijakan yang diderivasi dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika adalah bagaimana menjadikan ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat bangsa-bangsa di Indonesia sebagai sebuah jalinan serat-serat budaya Indonesia yang kukuh dan kuat.

Dengan demikian sudah menjadi tugas semua elemen bangsa untuk mengejawantahkan Bhinneka Tunggal Ika menjadi ideologi yang hidup, tidak hanya sebatas slogan pemanis bibir, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam kebijakan publik, dan dalam kehidupan di ruang publik. Identitas bangsa Indonesia yang dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah-tamah, toleran, kaya akan tradisi dari suku-suku bangsa yang Bhinneka perlu terus dikembangkan untuk kebudayaan dan perdamaian seluruh umat manusia. Spirit Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu harus dimaknai dalam saling mendorong pada kemajuan, kemakmuran, dan kesejahtraan antar sesama putra dan putri bangsa terlepas apa pun latar belakang etnis, suku, agama, dan budaya. Pada akhirnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi senjata yang ampuh untuk mewujudkan unity in diversity tak hanya di bumi pertiwi Indonesia, tapi juga di seluruh belahan dunia.

 

Referensi

Anderson, Benedict. 1986. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.

Hans Kohn. 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Terj. Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.

Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kartaprawira, M.D., “Menegakkan Kembali Ideal Nasionalisme Indonesia”, http://www.korwilpdip.org/6EDITORIAL071002.htm.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta