Pengadaan Langsung Dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015

Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengalami empat kali perubahan (berturut-turut adalah Perpres 35/2011, Perpres 70/2012, Perpres 172/2014 dan Perpres 4/2015). Dengan perkataan lain, belum genap 5 tahun sejak terbitnya, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengalami perubahan yang dapat dibilang terlampau dinamis.

Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 merupakan perubahan keempat atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 bukan merupakan pengganti Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 melainkan hanya merubah bagian–bagian tertentu dari Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Dengan demikian seluruh ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 yang tidak termasuk dalam Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 masih tetap berlaku.

Perubahan sampai yang keempat ini bukan tanpa alasan. Latar belakang perubahan Perpres tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya telah terjadi keterlambatan penyerapan anggaran belanja negara di hampir seluruh instansi pemerintah yang disinyalir merupakan akibat dari proses pengadaan anggaran. Dalam konsideran Perpres nomor 4 tahun 2015 pada bagian menimbang (a) disebutkan bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara guna percepatan pelaksanaan pembangunan, perlu inovasi terhadap pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi.

Pada perubahan kedua, yakni Perpres nomor 70 tahun 2012, dalam konsideran bagian menimbang juga sudah disebutkan latar belakang yang kurang lebih sama, yaitu (b) Bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja negara perlu percepatan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan kalimat lain, percepatan pelaksanaan pembangunan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah perlu didukung oleh percepatan pelaksanaan belanja Negara, yang dilaksanakan melalui Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun demikian, dalam praktiknya banyak kendala tak terduga yang harus dihadapi, seperti adanya lelang pengadaan barang/jasa yang harus diulang karena sesuatu dan lain hal. Hal tersebut menyebabkan persoalan berlarut-larut bila tidak disikapi dari aspek regulasinya.

Dibalik latar belakang yang demikian itu, perubahan atas Perpres nomor 54 tahun 2014 hingga yang terakhir yaitu Perpres nomor 4 tahun 2016 ternyata membawa kemudahan-kemudahan. Tentu saja, kemudahan itu tidak dimaksudkan untuk membuka kembali penyelewengan, namun lebih pada terciptanya proses pengadaan yang lebih efektif, efisien, mudah, dan menyenangkan, serta dengan hasil yang menggembirakan.

 

Pejabat Pengadaan dan Pengadaan Langsung

 Pasal 1 ayat (32) Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres 4 Tahun 2015 menyebutkan bahwa Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada Penyedia Barang/Jasa, tanpa melalui Pelelangan/ Seleksi/Penunjukan Langsung.

Pengadaan langsung merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa yang paling sering dilakukan. Metode ini lebih banyak mengandalkan Pejabat Pengadaan dalam praktiknya. Pengadaan langsung tidak termasuk dalam pra kualifikasi atau pasca kualifikasi, namun disederhanakan data yang diminta, misalnya untuk hal tertentu yang sederhana cukup NPWP.

Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, ada 2 pasal terkait pengadaan langsung yang penulis anggap paling relevan untuk memahami pengadaan langsung, yaitu :

  1. Pasal 1 ayat 32 menyebutkan Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada Penyedia Barang/Jasa, tanpa melalui Pelelangan/ Seleksi/Penunjukan Langsung. Pasal 39 ayat 1 berbunyi Pengadaan Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) , dengan ketentuan: (1) kebutuhan operasional K/L/D/I; (2) teknologi sederhana; (3) risiko kecil; dan/atau (4) dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil.
  2. Pasal 57 ayat (5) mengurai bahwa Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan metode Pengadaan Langsung dilakukan sebagai berikut:
  1. pembelian/pembayaran langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta Pengadaan Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan kuitansi;
  2. permintaan penawaranyang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis dan harga kepada Penyedia untuk Pengadaan Langsung yang menggunakan SPK.

Pengadaan langsung berbeda dengan penunjukan langsung. Adapun penunjukan langsung memiliki pengertian metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa. Penunjukan langsung tidak dibatasi oleh nilai, berapapun nilainya asalkan memenuhi empat kriteria tersebut maka dapat dilakukan dengan penunjukan langsung. Penunjukan langsung dapat dilakukan karena :

  1. ada alasan khusus dan tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 38 dan pasal 44 Perpres 54/2010;
  2. setelah pelelangan/seleksi ulang yang lulus kualifikasi di prakualifikasi hanya satu penyedia;
  3. yang memasukkan dokumen penawaran dalam pelelangan/seleksi ulang hanya satu penyedia;

 

Kemudahan Dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015

Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 memungkinkan proses pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan lebih sederhana. Perpres nomor 4 tahun 2015 tidak saja mengharuskan proses pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik melalui E-Tendering dan E-Purchasing, tetapi juga menyederhakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa dalam mengikuti E-Tendering. Kemudahan dan penyederhanaan tersebut dapat dilihat dari beberapa pasal Perpres yang diubah dengan Perpres nomor 4 tahun 2015.

Berkaitan dengan pengadaan langsung, kemudahan dalam Perpres nomor 4 tahun 2016 diantaranya adalah:

  1. Pasal 17 ayat ayat (2) huruf h

Pada hurup h, Pejabat Pengadaan diberikan wewenang untuk menetapkan penyedia yang dilakukan dengan cara Pengadaan Langsung atau Penunjukan Langsung untuk pengadaan barang/pekerjaan kontruksi/jasa lainnya dengan nilai paling tinggi Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan niai paling tinggi Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Ketentuan sebelumnya sebagaimana dalam Perpres nomor 70 tahun 2012, pasal 1 angka (9), Pejabat Pengadaan hanya mempunyai tugas sebagai pelaksana pengadaan yang dilakukan dengan cara Pengadaan Langsung.

b.. Pasal 19 ayat (1)

Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban memiliki laporan pajak paling kurang 3 (tiga) bulkan terakhir. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf l Perpres nomor 70 tahun 2012 penyedia barang/jasa harus memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir serta memiliki laporan bulanan PPh pasal 21, PPh pasal 23 (bila ada transaksi), PPh pasal 25/pasal 29 dan PPN (bagi pengusaha kena pajak) paling kurang tiga bulan terakhir dalam tahun berjalan.

Dalam pasal 19 ayat (1) huruf l Perpres nomor 4 tahun 2015 penyedia barang/jasa harus memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir. Dengan berlakunya Perpres nomor 4 tahun 2015, persyaratan perpajakan penyedia barang/jasa pemerintah menjadi lebih sederhana, bahkan untuk pengadaan barang/jasa dengan nilai tidak lebih dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) NPWP dan SPT tahunanpun tidak dipersyaratkan (pasal 19 ayat (2a).

Dengan menghilangkan persyaratan pajak 3 bulan terakhir, maka kerumitan evaluasi kualifikasi dan benturan dengan peraturan perpajakan dapat dihindari. Sebab, calon penyedia tidak perlu melampirkan Copy SIUP, NPWP, Bukti Pajak, dan Kontrak pada Dokumen Penawaran.

Jika mau lebih jeli mencermati, dalam Perpres nomor 54 tahun 2010 sudah tertuang dengan jelas perintah menyederhanakan. Pasal 56 Ayat 11 berbunyi : ULP/Pejabat Pengadaan wajib menyederhanakan proses kualifikasi dengan ketentuan: (a) meminta Penyedia Barang/Jasa mengisi formulir kualifikasi; dan (b) tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi.

Kata ‘wajib’ pada kalimat tersebut, sebetulnya secara eksplisit sudah menerangkan bahwa apabila panitia mempersyaratkan penyedia barang melampirkan atau memasukkan Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kualifikasi (SIUP, Pajak, Akta, Kontrak, dll), maka sudah melanggar Pasal 56 Ayat 11 Perpres nomor 54 tahun 2010. Namun apapun itu, regulasinya yang memang harus diperjelas agar tidak menimbulkan bias.

  1. Pasal 70 ayat (2)

Pasal ini membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan surat jaminan pelaksanaan untuk pengadaan tertentu. Dalam pasal 70 ayat (1) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan “jaminan pelaksanaan diminta PPK kepada penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi untuk kontrak bernilai di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)”. Dalam pasal 70 ayat (2) Perpres nomor 70 tahun 2012 disebutkan “jaminan pelaksanaan dapat diminta PPK kepada penyedia Jasa Lainnya untuk kontrak bernilai di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), kecuali untuk pengadaan Jasa Lainnya dimana asset penyedia sudah dikuasai Pengguna”. Penggunaan kata “dapat” dalam rumusan pasal 70 ayat (2) tersebut tidak secara tegas membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan jaminan pelaksanaan untuk pengadaan jasa lainnya dengan kontrak di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Pasal 70 ayat (2) Perpres nopmor 4 tahun 2015 mengatur dengan tegas ketentuan tentang jaminan pelaksanaan, dimana jaminan pelaksanaan tidak diperlukan untuk: 1) Pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dilaksanakan dengan metode Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung Untuk Keadaan Darurat, Kontes, atau Sayembara; 2) Pengadaan Jasa Lainnya, dimana asset penyedia sudah dikuasai oleh Pengguna; atau 3) Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dalam Katalog Elektronik melalui E-Purchasing.

 

Penutup

Peranan Pengadaan barang dan jasa pemerintah sangat strategis. Namun dalam kenyataannya, kerap didekati hanya dengan pendekatan taktis situasional. Dalam hal ini, pengadaan barang/jasa cenderung disandera oleh “harga”. Harga yang penulis maksud berbeda dengan biaya. Harga berkonotasi pasar, sedangkan biaya berkonotasi kebutuhan. Karena itu, pengadaan barang dan jasa semestinya lebih berorientasi pada biaya. Di samping itu, biaya berorientasi pada kinerja dengan mengelola sumber daya yang ada dan dana untuk kepentingan yang lebih luas sebagai upaya pengendalian dalam memenuhi kebutuhan.

Dalam hal ini pengadaan barang/jasa idealnya diarahkan hanya memenuhi kebutuhan dan mengendalikan keinginan. Dua hal yang esensinya sangat berbeda dari segi urgensi pemenuhannya. Kemudahan dalam pengadaan langsung barang/jasa pemerintah dengan diterbitkannya Perpres nomor 4 tahun 2015 semestinya juga harus menjadi motivasi untuk melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi jauh lebih baik lagi. Terutama, meningkatnya produktivitas kerja dan meningkatnya pemberdayaan industri kecil menengah (IKM).

 

Referensi

Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Ramli, Samsul, 2014. Bacaan Wajib Sertifikasi Ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: Penerbit Visimedia.

http://samsulramli.com/?s=Pejabat+Pengadaan+dan+Pengadaan+Langsung#038;paged=2, Pejabat Pengadaan dan Pengadaan Langsung.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta