IKM di Indonesia: Permasalahan dan Strategi Pengembangannya

IKM di Indonesia: Permasalahan dan Strategi Pengembangannya

IKM di Indonesia: Permasalahan, dan Strategi Pengembangannya

Oleh: Kunto Purwo Widagdo (Widyaiswara BDI Yogyakarta)

 

A. PENDAHULUAN

        Pengertian tentang Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Indonesia tenyata sangat bervariasi. Paling tidak ada tiga lembaga yang menggunakan kriteria berbeda, antara lain Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, dan Bank Indonesia. Secara umum, dalam pengertian IKM biasanya mencakup sedikitnya dua aspek, yaitu aspek nilai investasi awal (jumlah aset) dan aspek jumlah tenaga kerja. Menurut BPS misalnya, jika tenaga kerjanya 5 sampai 19 orang maka termasuk usaha kecil, sedangkan jika tenaga kerjanya erdiri dari 20 sampai 99 orang maka termasuk usaha menengah. Menurut UU No. 9 Tahun 1995, kriteria usaha kecil adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1 miliar per tahun. Untuk usaha menengah dibagi dua, yaitu sektor industri yang memiliki aset paling banyak Rp 5 miliar dan untuk sektor nonindustri, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 600 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan maksimal Rp 3 miliar per tahun. Di samping itu, terdapat Inpres No. 10 Tahun 1999 yang mendefinisikan usaha menengah adalah unit kegiatan yang mempunyai aset bersih antara Rp 200 juta sampai dengan Rp 10 miliar, di luar tanah dan bangunan tempat usaha. Pengembangan dan pertumbuhan IKM merupakan salah satu motor penggerak yang krusial bagi pembangunan ekonomi di banyak negara di dunia. Berdasarkan pengalaman di negara-negara maju menunjukkan bahwa IKM adalah sumber dari inovasi produksi dan teknologi, pertumbuhan jumlah wirausahawan yang kreatif dan inovatif dan penciptaan tenaga kerja terampil dan fleksibel dalam proses produksi untuk menghadapi perubahan permintaan pasar yang cepat (Tambunan, 2002).

        Di Indonesia, tidak dapat diingkari betapa pentingnya peranan IKM terhadap penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Data terakhir dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM menujukkan bahwa sampai pada pertengahan tahun ini, banyaknya IKM di Indonesia mencapai 99,99 persen dari jumlah seluruh unit usaha. Peranan IKM dalam penyerapan tenaga kerja juga sangat besar, yaitu menampung 99,44 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada. Selain itu dari sisi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), kontribusi IKM terhadap PDB mencapai 63,11 persen, sementara usaha besar yang merupakan 0,01 persen dari seluruh unit usaha memberikan andil sebesar 36,89 persen terhadap PDB.

        Perkembangan IKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah. Ada beberapa masalah yang umum dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal kerja dan / atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau, keterbatasan teknologi, sumber daya manusia dengan kualitas yang baik (manajemen dan teknik produksi), informasi pasar, dan kesulitan dalam pemasaran. Tingkat intensitas dan sifat dari masalah-masalah tersebut bisa berbeda tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antarlokasi / antarwilayah, antarsentra, antarsektor / antarsubsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan / sektor yang sama (Tambunan, 2002).

B. STRATEGI PENGEMBANGAN IKM

        Dalam pengembangan IKM, ada empat tahap yang akan dilalui IKM, yaitu tahap memulai usaha (start-up), tahap pertumbuhan (growth), tahap perluasan (expansion), dan sampai akhirnya merambah ke luar negeri (going overseas). Pembinaan IKM empat tahap ini merupakan model pengembangan IKM yang telah berhasil diterapkan di Singapura. Namun, sampai sekarang Indonesia belum memiliki sebuah model yang komprehensif yang dapat diterapkan sebagai model pembinaan untuk jangka menengah maupun jangka panjang (Tiktik Sartika dan Soejoedono, 2002). Menurut Tiktik Sartika dan Soejoedono (2002) strategi pengembangan IKM antara lain adalah:

  1. Kemitraan Usaha. Kemitraan adalah hubungan kerja sama usaha di antara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela, dan berdasarkan prinsip saling membutuhkan, sating mendukung, dan sating menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan IKM oleh usaha besar. Salah satu bentuk kemitraan usaha yang melibatkan IKM dan usaha besar adalah producton linkage. IKM sebagai pemasok bahan baku dan bahan penolong dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, di mana saat ini harga produk impor cenderung sangat tinggi karena depresiasi rupiah.
  2. Permodalan IKM. Pada umumnya permodalan IKM sangat lemah, baik ditinjau dari mobilisasi modal awal (start-up capital) dan akses ke modal kerja jangka panjang untuk investasi. Untuk memobilisasi modal awal perlu dipadukan tiga aspek yaitu bantuan keuangan, bantuan teknis, dan program penjaminan, sedangkan untuk meningkatkan akses permodalan perlu pengoptimalan peranan bank dan lembaga keuangan mikro untuk IKM. Sementara itu daya serap IKM terhadap kredit perbankan juga masih sangat rendah. Lebih dari 80 persen kredit perbankan terkonsentrasi ke segmen korporat, sedangkan porsi kredit untuk IKM hanya berkisar antara 15 — 21 persen dari total kredit perbankan. Untuk mengoptimalkan jangkauan pemberian kredit kepada IKM telah dikembangkan skim kredit dengan Program Kemitraan Terpadu, misalnya Program Kemitraan BUMN dan Bina Lingkungan (PKBL), Program Kemitraan dengan BPR, Koperasi dan Asosiasi, serta kredit program.
  3. Modal Ventura.  Pada umumnya IKM kurang paham atau tidak menyukai prosedur atau persyaratan yang diwajibkan oleh lembaga perbankan, sebaliknya lembaga perbakan kadangkadang juga memberikan persepsi inferior mengenai potensi IKM. Hal ini menimbulkan terjadinya distorsi dalam pembiayaan IKM. Oleh karena itu, modal ventura dapat dijadikan sebagai alternatif sumber pembiayaan IKM. Menurut Keppres No. 61 Tahun 1998, perusahaan modal ventura adalah badan usaha yang melakukan usaha pengembangan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu. Pembiyaan dengan modal ventura ini berbeda dengan bank yang memberikan pembiayaan dalam bentuk pinjaman atau kredit. Usaha modal ventura memberikan pembiayaan dengan cara ikut melakukan penyertaan modal langsung ke dalam perusahaan yang dibiayai. Perusahaan yang dibiayai disebut perusahaan pasangan usaha (investee company), sedangkan pemodal yang membiayai disebut perusahaan pemodal (invesment company atau venture capitalist).

        Strategi pengembangan IKM dapat didasarkan pada sumber daya internal yang dimiliki (resource-based strategy). Strategi ini memanfaatkan sumber daya lokal yang superior untuk menciptakan kemampuan inti dalam menciptakan nilai tambah (value added) untuk mencapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Akibatnya, perusahaan kecil tidak lagi tergantung pada kekuatan pasar seperti monopoli dan fasilitas pemerintah. Dalam strategi ini, IKM mengarah pada keterampilan khusus yang secara internal bisa menciptakan produk inti yang unggul untuk memperbesar pangsa manufaktur (Suryana, 2001). Salah satu strategi pengembangan IKM yang sangat baik untuk diterapkan di negara-negara berkembang adalah pengelompokan (clustering). Kerja sama dan sekaligus persaingan antarsesama IKM di subsektor yang sama di dalam suatu kelompok (klaster) akan meningkatkan efisiensi bersama (collective efficiency) dalam proses produksi,  spesialisasi yang fleksibel (flexible specialization), dan pertumbuhan yang tinggi (Tambunan, 2002).

Sentra-Sentra IKM.

        Secara alamiah, beberapa usaha industri yang sejenis telah membentuk semacam kelompok yang kemudian menjadi sentra-sentra IKM, misalnya sentra industri mebel, konveksi, bordir, krupuk, pengasinan ikan, batu bata, holtikultura, dan lain-lain. Tiap-tiap sentra tersebut melakukan spesialisasi yang fleksibel, artinya pengkhususan usaha yang sifatnya Iuwes (melentur) atau mudah disesuaikan. Secara historis, sentra IKM adalah pengelompokan usaha industri kecil yang sejenis dalam satu atau lebih wilayah (desa / kelurahan / kecamatan). Pengertian sentra IKM berbeda dengan kawasan industri, karena pengelompokan untuk kawasan industri memang sengaja diciptakan, sedangkan sentra-sentra IKM secara alamiah sebetulnya sudah mengelompok dengan sendirinya. Dengan adanya sentra-sentra IKM, maka hal ini dapat memudahkan para pengusaha dalam mengolah dan memasarkan produknya. Di samping itu juga memudahkan pemerintah dalam melakukan pembinaan. Pembinaan yang telah dilakukan pemerintah antara lain meliputi pemberian bantuan berupa peralatan atau mesin hasil penemuan baru, teknologi tepat guna, bantuan kemitraan, promosi dan pameran, serta studi banding, diimplementasikan dalam program pembinaan dan pengembangan IKM yang meliputi bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan teknologi. Di samping itu, pemerintah dan dunia usaha juga telah menyediakan sumber-sumber pembiayaan seperti kredit bank, pinjaman lembaga nonbank, modal ventura, hibah, dan lain-lain. Bentuk-bentuk kemitraan usaha (partnership) juga dikembangkan untuk mendukung akselerasi pengembangan IKM di Indonesia.

        Dengan mengacu pada program pembinaan dan pengembangan IKM di atas, maka sudah barang tentu sentra-sentra IKM akan terhindar dari masalah-masalah klasik seperti permodalan, pemasaran, manajemen, keterampilan teknis, dan lain-lain. Masalah justru muncul dari ciri-ciri produk yang dihasilkannya. Pada umumnya, produk produk IKM yang bersifat komplementaritas, terdeferensiasi, dan mudah menyesuaikan (ditiru) ini menghadapi masalah ketersediaan bahan baku dan disparitas harga. Produk-produk IKM kebanyakan bersumber pada pemanfaatan sumber daya lokal yang bercorak tradisional. Seiring dengan meningkatnya taraf penghidupan masyarakat, maka konsumsi atas produk tersebut juga cenderung meningkat. Kenaikan permintaan ini mendorong peningkatan kapasitas produksi. Hal ini akan menimbulkan masalah jika peningkatan kapasitas produksi ini tidak dapat diimbangi dengan pasokan bahan baku yang cukup. Contohnya antara lain usaha krupuk rambak yang mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku berupa kulit kerbau, usaha mebel yang mengalami kendala dalam hal pengadaan bahan kayu yang bermutu, usaha makanan yang kesulitan dalam pengadaan tepung terigu dan tepung gandum, dan industri menengah tertentu yang menghadapi kesulitan dalam pengadaan bahan baku logam.

        Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan memperluas sentra-sentra IKM itu sendiri. Sentra-sentra IKM tidak hanya terbatas pada kesamaan ciri-ciri komoditas atau produk yang sejenis saja, tetapi diperluas keterkaitannya dengan sentra-sentra IKM yang dapat menyediakan bahan baku yang dibutuhkan oleh sentra IKM yang bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan bahwa sumber bahan baku tersebut akan diperoleh dari daerah lain. Dengan demikian, ada semacam pola keterkaitan yang khusus antara sentra IKM di suatu daerah dengan sentra IKM di daerah lain, sehingga tiap-tiap sentra IKM akan terintegrasi secara vertikal, baik ke industri hulu (backward linkage) maupun ke industri hilir (forward linkage). Upaya ke arah ini sebenarnya sudah mulai dirintis semasa pemerintahan transisi yang dikenal dengan Program Cluster.

        Sebagai suatu ilustrasi, studi empiris di Kanada menunjukkan bahwa untuk menanggulangi keterbatasan keterbatasan sumber daya produksi, semakin banyak IKM Kanada yang berpartisipasi di dalam kesepakatan-kesepakatan kerja sama antarperusahaan seperti misalnya di bidang penelitian dan pengembangan (R & D), penjualan, pengolahan, dan distribusi. Kerja sama dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut dilakukan dengan pesaing dan bukan pesaing dari industri yang berbeda atau dalam industri yang sama, dengan perusahaan IKM domestik atau dengan perusahaan besar lainnya dan perusahaan asing, di dalam negeri atau lintas negara. Sebagian kesepakatan adalah berdasarkan kontrak dan spesifik proyek, yang lainnya adalah bersifat jangka panjang. Kesepakatan-kesepakatan antarperusahaan bisa dalam berbagai bentuk, misalnya lisensi, bekerja sama dalam proses produksi dan pemasaran, joint ventures, cross share holdings, dan bentuk-bentuk lainnya (Litvak, 1997).

        Keberhasilan pengembangan dan pemasaran produk-produk IKM di RRC juga tidak bisa dilepaskan dari peranan pasangan dagang (trading partner). Masyarakat Cina perantauan memainkan peranan penting sebagai pasangan dagang yang paling loyal dalam dunia perdagangan. Kontribusi mereka terhadap akselerasi pemupukan penanaman modal asing mencapai lebih dari 50 persen. Khusus Hong Kong, pasangan dagang ini memiliki peranan utama dalam upaya memperluas pasaran ekspor Cina. Lebih dari 40 persen ekspor Cina dijalankan melalui Hong Kong. Sampai saat ini bahkan produkproduk Cina seolah telah menjadi "bayangan ekonomi" terpanjang di dunia (Kennett, David, 2001).

        Masalah lain yang sering dijumpai oleh IKM adalah adanya alternatif harga yang lebih rendah dari produk yang sejenis, termasuk penawaran diskon. Penetapan harga yang lebih rendah ini dimaksudkan untuk merebut pangsa pasar, melemahkan pesaing atau menarik pembeli baru. Apabila penggunaan harga rendah ini diikuti oleh usaha-usaha sejenis lainnya, maka akan terjadi perang harga. Disparitas harga ini antara lain disebabkan oleh perbedaan biaya produksi. Misalnya upah tenaga kerja di suatu daerah lebih murah daripada upah tenaga kerja di daerah lain, maka daerah tersebut akan dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh kemampuan membayar dari tiap-tiap pengusaha berbeda-beda dan juga perbedaan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja itu sendiri. Disparitas harga dapat mengurangi efektivitas pemasaran produk yang pada gilirannya akan mengakibatkan berkurangnya volume penjualan dan kontribusi laba usaha. Hal ini tentu mengancam kelangsungan hidup masing-masing IKM itu sendiri. Situasi seperti ini dapat dijumpai misalnya pada produk konveksi dan bordir. Langkah mudah yang bisa diambil adalah dengan mempekerjakan sumber daya manusia dari luar daerah yang bersedia bekerja dengan upah tertentu atau dengan mengajak ibu rumah tangga yang memiliki cukup waktu untuk ikut bekerja paruh waktu sebagai pekerjaan sambilan. Untuk menghindari perang harga ini, dapat diupayakan untuk melakukan "kolusi harga" di antara sentra-sentra IKM yang menghasilkan produk yang sejenis. Penentuan harga secara khusus untuk produk yang sejenis ini dilakukan berdasarkan pertimbangan biaya produksi, mutu produk, dan permintaan pembeli. Dengan kata lain, masing-masing sentra IKM yang menghasilkan produk sejenis saling bertemu untuk secara bersama-sama mendesain harga secara fleksibel dengan maksud untuk menghindari perang harga.

        Dalam situasi dan kondisi tertentu ditetapkan strategi "penetrasi", yaitu menetapkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk menaikkan volume penjualan dan memperoleh posisi pasar. Dalam sistuasi dan kondisi lain ditetapkan strategi "skimming", yaitu menetapkan harga yang tinggi untuk menghasilkan laba yang besar. Untuk melapangkan jalan ke arah ini ada baiknya sentra-sentra IKM yang menghasilkan produk sejenis bergabung dengan sebuah asosiasi yang terkait atau  usaha yang sejenis. Agar asosiasi semacam ini dapat melaksanakan fungsi dan peranannya dengan balk maka perlu diberikan pendidikan manajerial agar usaha mereka dapat dijalankan secara professional dan menghasilkan, serta terhindar dari hal-hal yang merugikan.

 

 C. PENUTUP

        Dalam pengembangan IKM perlu dikaji terlebih dahulu tentang kriteria dan ciri-ciri IKM, masalah-masalah yang dihadapi serta potensi-potensi yang tersedia agar dapat disusun suatu strategi pengembangan IKM yang lebih baik. Strategi pengembangan IKM dapat dilakukan secara fleksibel dengan mempertimbangkan faktor-faktor kondisi alam, keunikan, dan potensi asli suatu daerah, serta keterkaitan antardaerah. Oleh karena itu, pengembangan IKM dengan berbasis pada sumberdaya lokal perlu mendapat dukungan dan pembinaan khusus. Selanjutnya, dalam sistem gugus usaha (cluster) yang terdiri dari sentra-sentra IKM dapat dijadikan sebagai komplemen atau mitra kerja bagi usaha-usaha besar dalam rangka memperkuat pola-pola kemitraan secara terpadu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Kennett, David, 2001. A New View of Comparative Economic Systems, Harcourt College Publisher, Inc.

Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko, 2002. Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

 Setiawan, Achma Hendra., 2004. Fleksibilitas Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah, Dinamika Pembangunan Universitas Diponegoro, Semarang.

Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Dejoedono, 2002. Ekonomi Skala Kecil /Menengah dan Koperasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Tulus T.H. Tambunan, 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

 

Label

Diklat

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta