Mengenal Waste Yang Ketujuh, Defect

Dalam seri tulisan ”The Seven Waste” yang kedelapan ini, kita akan berfokus untuk membahas waste yang ketujuh, yaitu Cacat Produksi (defect).

Defect dimaknai sebagai produk yang dibuat tidak memenuhi spesifikasi sehingga menyebabkan dilakukannya rework (pengerjaan ulang), scrap, delay produksi, perlunya dilakukan investigasi, dan lain sebagainya. Pemborosan ini dapat disebabkan oleh ketidaksempurnaan produk dan kurangnya tenaga kerja pada saat proses berjalan. Sebagai contoh, kasus cacat produksi yang terjadi pada perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan), jika dijumpai produk yang kotor, maka akan dilakukan penarikan minimal terhadap produk yang diproduksi bersama dalam satu batch produksi.

Cacat produksi dapat berakibat pada:

  • operator pada proses produksi selanjutnya harus menunggu
  • bertambahnya biaya produksi
  • memperpanjang lead time
  • perlu kerja tambahan untuk membongkar dan mereparasi produk
  • terganggunya jadwal produksi

Selain kerugian tenaga, waktu dan biaya (ongkos penarikan, biaya proses produksi yang telah dikeluarkan, serta kerugian kemasan yang tak terbuang), akibat dari cacat ini akan lebih buruk lagi jika ditemukan oleh pelanggan karena bukan hanya ongkos garansi dan tambahan ongkos kirim saja yang harus ditanggung oleh perusahaan, namun juga pengorbanan berupa citra perusahaan yang dapat tercoreng, peluang bisnis masa mendatang dan pangsa pasar yang menyusut. Sebagai contoh dari defect ini adalah berbagai kasus penarikan mobil merek-merek tertentu yang kadang terjadi di Amerika dan Eropa. Akibat dari penarikan mobil ini, tentu akan berakibat terhadap mundurnya jadwal produksi mobil baru, karena fokus pekerja terbagi kepada penanganan mobil yang cacat tersebut untuk pengerjaan ulang, yang tentunya akan berakibat panjang kepada proses-proses selanjutnya atau proses-proses yang terkait. Pengaruh yang pasti adalah munculnya biaya pengerjaan ulang yang pasti tidak sedikit, serta menurunnya kepercayaan pelanggan terhadap produk perusahaan tersebut. Ibarat kata pepatah, “memperbaiki selalu lebih sulit daripada membuat produk yang baru”, maka hal-hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi andai saja perusahaan melakukan perencanaan pekerjaan secara teliti dari awal, sehingga perusahaan tidak perlu kehilangan waktu, tenaga dan juga uang untuk proses penarikan, pengerjaan ulang hingga pengiriman kembali produk tersebut kepada konsumen, belum lagi ditambah dengan uang kompensasi sebagai ganti rugi bagi pelanggan atas ditariknya produk tersebut.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan defect  diantaranya adalah ketepatan setingan pada mesin produksi, sehingga dapat mengurangi defect, serta perlunya penyesuaian jumlah karyawan pada saat proses produksi.

Ketujuh pemborosan tersebut diatas selalu ada dalam setiap industri, apakah itu industri manufaktur, ataukah industri jasa, tambang, dsb. Menerapkan Lean Manufacturing merupakan cara paling efisien dalam mengurangi (atau bahkan menghilangkan) ketujuh pemborosan tersebut.

Menurut Prof.Yasuhiro Monden,Ph.D, pemborosan  utama  dalam perusahaan manufaktur  adalah  adanya  sumberdaya produksi  yang  terlalu  banyak,  yaitu  tenaga  kerja  yang  terlalu  banyak, fasilitas  yang  terlalu  banyak  dan  persediaan  bahan  baku  yang  terlalu banyak. Apabila unsur-unsur ini terdapat dalam jumlah yang lebih banyak daripada  yang  diperlukan,  baik  orang,   perlengkapan,  bahan  ataupun produk, mereka hanya akan menambah biaya dan tidak  menambah nilai produk yang dihasilkandalam suatu perioda perencanaan tertentu. Tenaga kerja yang banyak mengakibatkan biaya personalia berlebihan, fasilitas yang banyak akan mengakibatkan biaya penyusutan yang berlebihan.

Sumber  daya  produksi  yang  terlalu  banyak  akan  menciptakan produksi  berlebihan,  yang  dipandang  sebagai  “pemborosan  terburuk”  di Toyota, karena pekerja akan terus melanjutkan pekerjaan pada saat proses produksi seharusnya dihentikan. Pemborosan ini akan menyebabkan terciptanya kondisi persediaan WIP atau produk jadi akan terlalu banyak pula. Persediaan yang terlalu banyak menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja dan  perlengkapan yang lebih banyak, serta lantai yang lebih luas untuk mengangkut dan  menyimpan persediaan, dimana hal ini tentunya hanya akan menambah investasi modal yang tak perlu.

 

 

DAFTAR REFERENSI

 

Abdullah, Fawaz, Lean Manufacturing Tools and Techniques In The Process Industry With the Focus on Steel, Dissertation, University of Pittsburgh, 2003.

 

Akinlawon, Akin, Thingking Of Lean Manufacturing System.

 

Becker, Ronald, Lean Manufacturing And The Toyota Production System.

 

Fanani, Zaenal,dkk., Implementasi lean manufacturing untuk peningkatan produktivitas (studi kasus pada pt. ekamas fortuna malang), Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII, Program Studi MMT-ITS, Surabaya, 5 pebruari 2011.

 

Fitriyah, Ni’matul., Peningkatan mutu produk kain grei pada departemen weaving iii PT. Dan liris Sukoharjo dengan menggunakan pendekatanLean six sigma, Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012.

 

Jahja, Kristianto, 5R, Productivity & Quality Management Consultants, Jakarta Pusat, 1995.

 

Jeffrey K. Liker, The Toyota Way: 14 Management Principles from theWorld's Greatest Manufacturer, McGraw-Hill © 2004.

 

Monden, Yasuhiro, Sistem Produksi Toyota, Seri Manajemen Operasi No.8, Edisi Indonesia , Cetakan pertama, PPM, Jakarta, 1995.

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta