Naik Turun Industri Bahan Baku Plastik di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4% selama tahun 2012, telah mendorong peningkatan konsumsi bahan baku plastik di dalam negeri. Namun tingkat konsumsi per kapita bahan baku plastik di dalam negeri masih tergolong rendah dibanding dengan negara lainnya. Sebagai gambaran, pada tahun 2012, konsumsi per kapita bahan baku plastik polyethylene (PE) resin di Indonesia mencapai sekitar 4,6 kg per kapita atau lebih rendah dibanding tingkat konsumsi per kapita rata-rata di kawasan Asia yang mencapai 8,8 kg per kapita. Sementara tingkat konsumsi per kapita PE resin di kawasan Asean seperti Singapura mencapai sekitar 19 kg per tahun, Malaysia (36 kg per kapita), Thailand (19 kg per kapita). Sedangkan konsumsi PE resin per kapita di Korea Selatan dan Jepang masing-masing telah mencapai 43 kg per kapita dan 34 kg per kapita pada tahun 2012.

Dengan kondisi ini, maka potensi pertumbuhan konsumsi bahan baku plastik di pasar dalam negeri masih cukup besar, karena Indonesia merupakan pasar potensial bahan baku plastik dengan populasi penduduk 245 juta jiwa atau ke empat terbesar setelah China, India dan Amerika Serikat.

Meski konsumsi bahan baku plastik cenderung meningkat, namun hingga kini, untuk memenuhi konsumsi bahan baku plastik di dalam negeri, sebagian masih tergatung impor. Berdasarkan catatan BPS, pada tahun 2012, total nilai impor produk olefin dua produk polyolefin untuk bahan baku plastik yaitu polypropylene (PP) resin dan PE resin mencapai US$ 3,65 miliar. Sementara nilai impor bahan baku plastik lainnya seperti PVC resin, PS resin dan ABS resin dalam satu tahun terakhir juga mengalami peningkatan, masing-masing senilai US$95,4 juta, US$147,8 juta dan US$258,6 juta. Kecenderungan meningkatnya volume impor bahan baku plastik ini sejalan dengan naiknya permintaan yang melebihi tingkat produksi dari produsen bahan baku plastik di dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, maka peluang di bisnis bahan baku plastik ini masih akan tetap besar baik untuk pemasok maupun produsen.

Terkait hal itu, untuk menekan impor bahan baku plastik yang cenderung meningkat, hingga kini, terdapat beberapa investor yang berminat untuk membangun plant olefin (ethylene & propylene) dan polyolefin di Indonesia, diantaranya Honam Petrochemical Corporation dengan investasi US$ 5 miliar dan Pertamina yang bermitra dengan PTT Global Chemical, Thailand membangun naphtha cracker senilai US$ 5 miliar. Sedangkan Chandra Asri Petrochemical (CAP) tengah melakukan diversifikasi produk dengan membangun plant butadiene (100.000 ton per tahun) dengan investasi senilai US$ 150 juta yang dijadwalkan mulai beroperasi komersial pada tahun 2013 ini. Selain diversifikasi produk, CAP juga telah merampungkan beberapa proyek ekspansi dan merencanakan proyek-proyek ekspansi lainnya termasuk peningkatan kapasitas naphtha cracker dari 600.000 ton per tahun menjadi 1 juta ton per tahun dengan investasi senilai US$320 juta. Proyek ekspansi naphtha cracker ini untuk menghadapi kondisi industri yang diperkirakan terjadi pada tahun 2015 dan 2016.

Di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini, iklim bisnis di sektor industri bahan baku plastik dan industri plastik menghadapi tantangan yang cukup serius. Industri bahan baku plastik juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah dunia. Akibatnya, harga naptha sebagai bahan baku industri olefin (ethylene dan propylene) tidak stabil. Benang merah lain adalah ketidakseimbangan antara supply dan demand, sehingga mendorong naiknya harga bahanbaku plastik, seperti PE resin dan PP resin. Ketika harga minyak mentah dunia melonjak hingga US$141 per barel pada pertengahan2008, harga kedua komoditas ini melonjak hingga US$2.000 per ton. September 2008, harga minyak mentah dunia turun ke level US$109,73 per barel, harga bahan baku plastik PE dan PP merosot menjadi US$1600-US$1.650 per ton. Januari 2009, harga minyak mentah dunia anjlok ketingkat terendah sekitar US$41,96 per barel, harga PE dan PP di pasar dunia masih tetap di kisaranantara US$790-US$850 per ton. Akibat pergerakan harga bahan baku plastik semakin anomaly (situasi menyimpang dari keadaan normal), industri petrokimia hulu di dalam negeri menjadil esu. Sejumlah produsen kesulitan meningkatkan produksi. PT Polytama propindo misalnya,belum berani untuk menambah produksi, karena masih menunggu perbaikan harga.

Empat produsen petrokimia intermediated di dalam negeri, mengalami penumpukan stokproduksi PE dan PP hingga 90.000 ton. Ke-4 produsen tersebut antara lain PT Chandra Asri, PTTitan Petrochemical, PT Tri Polyta, dan PT Polytama. Penumpukan stok terbanyak dialami PTChandra Asri sekitar 35.000 ton berupa PE dan PP.Namun, permintaan produk plastik meliputi  plastic film, plastic woven bag, plastic pipe, plastic sheet, plastic housewares, plastic electronic consumer & household appliances, motorcycle &automotive plastic parts dan plastic bottle/container dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Kondisi ini mendorong meningkatnya permintaan bahan baku plastik. Tercatat, konsumsi enam jenis bahan baku plastik di Indonesia dalam lima tahun terakhir(2003-2007) meningkat, dari 1,7 juta ton naik menjadi sekitar 2,1 juta ton. Pada 2007, konsumsibahan baku plastik terbesar adalah PP resin yang mencapai 817,0 ribu ton. Tingginya konsumsi PPresin, didorong oleh pesatnya pertumbuhan industri pemakainya seperti industri komponenotomotif yang banyak menggunakan PP resin,copolymer , diikuti oleh konsumsi PE resin sebesar697,6 ribu ton. Di Indonesia, konsumsi bahan baku plastik masih relatif rendah yaitu baru mencapai sekitar 10 kg per kapita per tahun. Sementara di negara Asean lainnya, seperti Singapura (80 kg)

Fasilitas komentar tidak disertakan.

Zona Integritas

Zona Integritas BDI Yogyakarta